Selasa, 05 Mei 2015

SUBYEK HUKUM KONTRAK KOMERSIAL INTERNASIONAL



SUBYEK HUKUM KONTRAK KOMERSIAL INTERNASIONAL

Subyek hukum ialah pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadi subyek hukum dalam sistem hukum Indonesia, yang sudah barang tentu bertitik tolak dari sistem hukum Belanda, ialah individu (orang) dan badan hukum (perusahaan, organisasi, institusi) Yang dimaksud dengan subyek hukum dalam kontrak komersial internasional adalah para pihak yang membuat dan menandatangani suatu kontrak komersial internasional dalam bentuk tertulis.
Para pihak oleh hukum lazimnya di bagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu[1]:
1. Perorangan; dan
2. Badan usaha.
Badan usaha sendiri pun dibagi 2 (dua), yaitu:[2]
1. Badan usaha yang berbadan hukum; dan
2. Badan usaha yang tidak berbadan hukum (bukan badan hukum).
Adapun para pihak atau subyek hukum yang dapat menandatangani suatu kontrak adalah para pihak yang mampu menanggung hak dan kewajibannya di depan hukum. Dari batasan ini, maka subyek hukum yang dapat menandatagani kontrak komersial internasional adalah:
  1. Individu
  2. Badan Hukum
  3. Organisasi Internasional
  4. Negara
Uraian berikut akan menganalisa tentang keempat subyek hukum tersebut
1. Individu/Perorangan
            Pada dasarnya manusia pada hidupnya adalah merupakan perorangan, dan orang merupakan subyek hukum. Dan sejak dilahirkan manusia telah memperoleh hak dan kewajiban, dan pada waktu meninggal dunia, hak dan kewajiban tersebut akan diwariskan pada ahli warisnya.
            Individual atau perusahaan adalah pelaku utama dalam perdagangan Internasional. Adalah individu yang pada akhirnya akan terikat oleh aturan-aturan hukum perdagangan internasional. Selain itu, aturan-aturan hukum yang dibentuk oleh negara memiliki tujuan untuk memfasilitasi perdagangan internasional yang dilakukan individu.[3]
            Dibanding dengan negara atau organisasi internasional, status individu dalam hukum perdagangan internasional tidaklah terlalu penting. Biasanya individu dipandang sebagai subyek hukum dengan sifat hukum perdata (legal persons of a private law nature)[4]
Individu itu sendiri hanya (akan) terikat oleh ketentuanketentuan hukum nasional yang negaranya buat. Karena itu individu tunduk pada hukum nasionalnya (tidak pada aturan hukum perdagangan internasional). Dia pun hanya dapat mempertahankan hak dan kewajibannya yang berasal dari hukum nasionalnya tersebut di hadapan badan-badan peradilan nasional.[5]
Dalam subyek hukum individu/perorangan terbagi menjadi 2 bagian yaitu Perorangan dan Usaha Perorangan. Perorangan adalah setiap orang yang dalam melakukan perbuatan hukum bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri, sedangkan usaha perorangan dalam melakukan perbuatan hukum ia diwakili oleh pemiliknya, yang hanya seorang bertindak, baik untuk dan atas namanya sendiri, juga untuk dan atas nama usahanya.
Pada dasarnya antara perorangan dengan usaha perorangan tidak terdapat perbedaan, karena keduanya tidak ada pemisahan harta kekayaan, artinya, harta kekayaan pribadi juga merupakan harta kekayaan usahanya, demikian sebaliknya, harta kekayaan usahanya juga merupakan harta pribadi pemiliknya. Contoh-contoh usaha perorangan yang lazim dipergunakan orang adalah Usaha Dagang (UD) atau Perusahaan Dagang (PD).[6]
Pada dasarnya manusia mempunyai hak sejak dalam kandungan,[7] namun tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
2. Badan Hukum
Badan hukum adalah subjek hukum ciptaan manusia pribadi berdasarkan hukum, yang diberi hak dan kewajiban seperti manusia pribadi[8]. Menurut ketentuan pasal 1653 BW ada tiga macam badan hukum berdasarkan eksistensinya, yaitu:
  1. Badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah (penguasa), seperti badan-badan pemerintahan, perusahaan-perusahaan negara.
  2. Badan hukum yang diakui oleh pemerintah (penguasa), seperti perseroan terbatas, koperasi.
  3. Badan hukum yang diperbolehkan atau untuk suatu tujuan tertentu yang bersifat ideal, seperti yayasan (pendidikan, sosial, keagamaan, dan lain-lain)[9]
3. Organisasi Internasional
Organisasi Internasional sebagai subyek hukum internasional sekarang tidak diragukan lagi, Organisasi Internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) mempunyai hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi internasional yang merupakan semacam anggaran dasarnya. Berdasarkan kenyataan ini sebenarnya sudah dapat dikatakan bahwa PBB dan Organisasi Internasional semacamnya merupakan subyek hukum internasional, setidak-tidaknya menurut hukum internasional khusus yang bersumberkan konvensi internasional tadi.[10]
Organisasi Internasional adalah salah satu pelaku dagang. Tranksaksi-tranksaksi mereka tertuang dalam kontrak-kontrak dagang internasional yang ditandatangani para pihak, dan jarang sekali kontrak-kontrak seperti ini dipublikasikan luas dibandingkan misalnya dengan kontrak yang dilakukan oleh negara atau perusahaan besar.[11] Meskipun demikian sebenarnya kontrak-kontrak pengadaan barang dan jasa Organisasi Internasional memiliki potensi yang cukup besar, nilai yang terkait didalamnya cukup tinggi. PBB misalnya, setiap tahun organisasi dunia ini mengeluarkan dana lebih dari 4,6 Miliar Dolar AS.[12]
      Dalam mendirikan suatu organisasi internasional perlu dibentuk suatu dasar hukum yang biasanya adalah perjanjian internasional. Dalam perjanjian inilah termuat tujuan, fungsi, dan struktur organisasi perdagangan internasional yang bersangkutan.
4.    Negara
Negara adalah subyek hukum internasional dalam arti yang klasik, dan telah demikian halnya sejak lahirnya hukum internasional[13]. Bahkan hingga sekarang pun masih ada anggapan bahwa hukum internasional itu pada hakekatnya adalah hukum antar negara[14].
Dalam dunia komersial dan perdagangan internasional negara merupakan subyek hukum yang paling penting, dan paling sempurna. Karena negara satu-satunya subyek hukum yang memiliki kedaulatan. Berdasarkan kedaulatan ini, negara memiliki wewenang untuk menentukan dan mengatur segala sesuatu yang masuk dan keluar dari wilayahnya.[15] Booysen menggambarkan kedaulatan negara ini sebagai
berikut:
“... a state can absolutely determine whether anything from outside the state. The state would also have the power to determine the conditions on which the goods may be imported into the state or exported to another country. Every state would have the power to regulate arbitrarily the conditions of trade.”[16]
Dengan atribut kedaulatannya ini, negara antara lain berwenang membuat hukum (regulator) yang mengikat segala subyek hukum lainnya (yaitu individu, perusahaan), mengikat benda dan peristiwa hukum yang terjadi di dalam wilayahnya, termasuk perdagangan, di wilayahnya.[17]
Dalam kaitanya dengan kontrak internasional negara berperan sebagai subyek hukum dan posisinya adalah sebagai pedagang. Dalam posisinya ini, negara adalah salah satu pelaku utama dalam perdagangan internasional. Dalam melaksanakan fungsinya ini, tidak jarang negara membuat badan-badan hukum milik negara. Di tanah air misalnya, untuk mengelola teknologi telekomunikasi negara mendirikan Telkom, Untuk mengelola sumber daya air untuk kepentingan rakyat negara mendirikan perusahaan air minum, dst., negara dengan perusahaan negaranya mengadakan transaksi dagang dengan negara lainnya. Negara memiliki berbagai sumber daya alam, pertanian, perkebunan, pertambangan, dll. Bahan-bahan alam ini disamping dikelola untuk kebutuhan di dalam negeri juga diperdagangkan (dijual) ke subyek hukum lainnya yang memerlukannya.


                 [1] H.R. Daeng Naja. Op.cit., h. 89
                 [2]  Ibid
                [3] Hercules Boosen, International Trade Law on Goods and Services, Pretoria: Interlegal, 1999, h. 2. Dikutip dari Huala Adolf. Makalah Hukum Perdagangan Internasional Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar. h. 12, http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources /1/20HUKUM/20PERDAGANGAN20INTERNASIONAL/20Prinsip-prinsip/20dan/ 20Konsepsi/20 Dasar.PDF diakses pada tanggal 20 November 2010
                [4] Ibid
                [5] Ibid
                [6] H.R. Daeng Naja. Op.cit., h. 90
                [7] Lihat pasal 2 BW
                [8] Abdulkadir Muhammad. Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993. h.29
                [9] Ibid
                [10] Mochtar Kusumaatmaja. Pengantar Hukum Internasional, Buku 1, Binacipta, Bandung, 1977,  h. 72-73
                [11] Huala Adolf . op.cit., h. 61
                [13] Mochtar Kusumaatmaja. Op.cit., h. 70
                [14] Ibid
                [15] Hercules Boosen, International Trade Law on Goods and Services, Pretoria: Interlegal, 1999, h. 2. Dikutip dari Huala Adolf.op.cit., h. 54
                [16] Ibid., h. 55
                [17] Ibid

Tidak ada komentar: