DEFINISI MEDIASI DALAM SENGKETA KONSUMEN
Di dalam menyelesaikan sengketa konsumen terdapat berbagai cara untuk
menyelesaikanya, salah satunya adalah dengan Mediasi
Moore mendefinisikan mediasi adalah sebagai berikut :[1]
“the intervention in a negotiation or a
conflict of an acceptable third party who has limited or no authoritative
decision-making power but who assist the involved parties in voluntary reaching
a mutually acceptable settlement of issue in dispute.”
Kovach mendefinisikanya sebagai
berikut :[2]
Facilitated negotiation. It
process by which a neutral
third party. The mediator, assist disputing parties in reaching a mutually
satisfaction solution.
Dari rumusan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian tentang
mediasi mengandung unsur-unsur sebagai berikut :[3]
1.
Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian
sengketa berdasarkan perundingan.
2.
Mediator terlibat dan diterima oleh para
pihak yang bersengketa di dalam perundingan.
3.
Mediator bertugas membantu para pihak yang
bersengketa untuk mencari penyelesaian.
4.
Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat
keputusan selama perundingan berlangsung
Sedangkan ketentuan mengenai mediasi yang diatur dalam pasal 6 ayat (3) UU
No. 30 / 1999 adalah merupakan suatu kesepakatan tetulis para pihak, sengketa
atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat
ahli maupun melalui seorang mediator.
Mediasi, dari pengertian yang diberikan diatas, jelas melibatkan keberadaan
pihak ketiga (baik perorangan maupun dalam bentuk suatu lembaga independen)
yang bersifat netral dan tidak memihak, yang akan berfungsi sebagai mediator.
Sebagai pihak ketiga yang netral, independen, tidak memihak dan ditunjuk oleh
para pihak (secara langsung maupun melalui lembaga mediasi), mediator
berkewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan pada kehendak
dan kemauan para pihak. Walaupun demikian ada suatu pola umum yang dapat
diikuti dan pada umumnya dijalankan oleh mediator dalam rangka penyelesaian
sengketa para pihak. Sebagai suatu pihak diluar perkara, yang tidak memiliki
kewenangan memaksa, mediator ini berkewajiban untuk bertemu atau mempertemukan
para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang
dipersengketakan oleh para pihak. Berdasarkan pada informasi yang diperoleh,
baru kemudian mediator dapat menentukan duduk perkara, kekurangan dan kelebihan
masing-masing pihak yang bersengketa, dan selanjutnya mencoba untuk menyusun
proposal penyelesaian, yang kemudian dikomunikasikan kepada para pihak secara
langsung. Mediator harus mampu menciptakan suasana dan kondisi yang kondusif
bagi terciptanya kompromi diantara kedua belah pihak yang bersengketa untuk
memperoleh hasil yang saling menguntungkan (wi-win).
Raiffa melihat peran mediator sebagai sebuah garis rentang dari sisi peran
yang terlemah hingga sisi peran yang terkuat.[4] Sisi
atau peran terlemah adalah apabila mediator hanya melaksanakan peran sebagai
berikut :[5]
1.
Penyelenggara pertemuan
2.
Pemimpin diskusi yang netral
3.
Pemelihara atuau penjaga aturan perundingan
agar
4.
berlangsung berabad
5.
Pengendali emosi para pihak.
6.
Pendorong pihak / perunding yang kurang mampu
atau segan mengemukakan pandanganya.
Peran
mediator menjadi peran kuat jika bertindak, sebagai berikut :
1.
Mempersiapkan dan membuat notulen perundingan
2.
Merumuskan titik temu / kesepakatan para
pihak
3. Membantu para pihak agar menyadari bahwa
sengketa bukan sebuah pertarungan untuk dimenangkan, melainkan diselesaikan.
4.
Menyusun dan mengusulkan alternatif pemecahan
masalah.
5.
Membantu para pihak menganalisis alternatif
pemecahan masalah.
Seorang mediator senantiasa bersifat netral yaitu disamping tidak
memperlihatkan keberpihakan juga diartikan sebagai tidak memiliki kepentingan
terhadap hasil akhir atau kesepakatan yang diharapkan dihasilkan melalui proses
mediasi. Akan tetapi, karena mediasi dipraktekan dalam berbagai bidang sengketa
yakni dalam bidang hukum keluarga, hukum perdata internasional dan huku publik
nasional dan huku internasional publik maka akan terdapat berbagai
bentuk-bentuk mediator yang tidak sepenuhnya memenuhi kriteria netral dalam
arti mediator tidak memiliki kepentingan terhadap hasil akhir. Praktisi mediasi
Kovach Moore membagi mediasi dalam 3 bentuk, yaitu :[6]
1.
Social Network Mediators (Mediator Hubungan Sosial)
Sebuah jalinan atau hubungan sosial yang ada atau tengah berlangsung,
biasanya ditandai oleh ikatan emosional yang dikenal oleh para pihak mampu
membantu menyelesaikan sengketa dan dapat dipercaya untuk menengahi suatu
perselihan, biasanya tokoh masyarakat atu tokoh agama. Mediasi tipe ini lebih
pada sebgai suatu upaya untuk mempertahankan keserasian dan hubungan baik dalam
komunitas sosial, karena mediator dan pihak yang berselisih sama-sama hidup
ditengah-tengah komunitas yang sama. Di lingkungan masyarakat Indonesia
misalnya Penghulu Adat dalm masyarakat Minangkabau dan Ulama dipedalaman
Masyarakat Jawa.
Ciri-ciri Mediator jenis ini adalah :
1.
Hubungan masa lalu dan masa depan antar para
pihak diharapkan menyatu dalam hubungan sosial.
2.
Tidak harus tidak berpihak tetapi harus
berlaku adil
3.
Seringkali terlibat dalam implementasi
kesepakatan
4.
Umumnya memiliki hubungan dengan para pihak
5.
Dapat menggunakan pengaruh atau wibawa untuk
mendorong kesepakatan.
2.
Authoritatif Mediators
Mereka-mereka yang membantu para pihak-pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikanj perbedaan-perbadaan dan mediator sesungguhnya mempunyai
kapasitas atau potensi untuk mempengaruhi hasil akhir dari sebuah proses
mediasi, akan tetapi seorang mediator authoritative tidak menggunakan
kewenanganya dalam suatu mediasi melainkan hanya didasarkan pada keyakinan
pandanganya. Mediator authoritative tetap percaya bahwa pemecahan masalah bukan
tergantung pada dirinya tetapi pada pihak yang bersengketa dan dalam situasi
tertentu dapat memberi batasan dalam mencari penyelesaian. Mediator
authoritative mungkin juaga memberikan semacam ancaman kepada para pihak, jika
para pihak sendiri tidak dapat menyelesaikan permasalahan dengan pendekatan
kolaboratif dan kooperatif, maka si mediator authoritatiflah yang akan akhirnya
membuat keputusan untuk penyelesaian yang harus diterima oleh para pihak.;
Mediator Authoritatif dibedakan menjadi tiga yaitu :
a. Mediator Benevolent
-
Dapat memiliki atau tidak memiliki hubungan
dengan para pihak
-
Mencari penyelesaian terbaik bagi para pihak
-
Mungkin memiliki sumber daya untuk membantu
pemantauan dan implementasi kesepakatan.
b. Mediator Administratif/Managerial
-
Memiliki hubungan otoritatif (kewenangan)
dengan para pihak sebelum dan sesudah sengketa berakhir
-
Mencari penyelesaian dalam lingkup ukuran
mandat dan kewenanganya
-
Membantu pemantauan dan implementasi
kesepakatan
-
Mungkin memiliki kewenangan untuk membuat
keputusan.
c. Mediator Vested Interest
-
Memiliki hubungan dengan para pihak dan
diharapkan memiliki hubungan di masa datang
-
Memiliki kepentingan yang kuat terhadap hasil
akhir kesepakatan
-
Membantu pemantauan dan implementasi
kesepakatan
-
Dapat atau mungkin menggunakan tekanan agar
para pihak mencapai kesepakatan.
3.
Independent Mediators
Mediator mandiri adalah peran yang menjga para pihak maupun dengan
persoalan yang tengah dihadapi oleh para pihak. Mediator ini banyak ditemukan
dalam budaya masyarakat yang lebih mengembangkan kemandirian dan menghasilkan
mediator profesional. Mediator ini sebelumnya tidak mempunyai hubungan sosial
tertentu dan tidak memiliki kepentingan terhadap hasil kesepakatan. Biasanya
lebih mengandalkan pada profesionalitas dalam menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi.
Ciri-ciri mediator ini adalah :
1.
Netral dan tidak memihak mengenai hubungan
dan hasil
2.
Melayani para pihak
3.
Mencari penyelesaian tidak bersifat paksaan,
tetapi berdasarkan kesukarelaan dan dapat diterima oleh para pihak
4.
Mungkin dilibatkan dalam pemantauan dan
implementasi hasil kesepakatan
5.
Sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk
memaksakan sebuah kesepakatan.
Jadi secara garis besar kedudukan dan peran mediator independent adalah
sebagai berikut:
1.
Berada di tengah para pihak (to go between or
to be in middle)
2.
Mengisolasi proses mediasi
3.
Mediator tidak berperan sebagai hakim
4.
Hasil kesepakatan dirumuskan dalam bentuk
kompromis
Mediasi merupakan salah satu pendekatan penyelesaian sengketa di luar
sidang pengadilan yang kemudian dikenal istilah ADR (alternatif dispute
resolution).
Disamping itu dikenal istilah negoisasi dan arbitrase. Kesemua penyelesaian
sengketa ini bukan merupakan cara yang baru muncul dan dikenal dalam lapangan
hukum karena dalam masyarakat cara-cara semacam ini sudah ada sebelumnya
walaupun dalam praktek ada berbagai ragam yang berbeda-beda. Sejalan dengan era
industrialisasi yang juga menuntut penyelesaian perselisihan secara efisian dan
efektif, ternyata pendekatan semacam inilah yang sangat cocok dibandingkan
proses melalui mekanisme peradilan.
[1]
Christopher W Moore. The Mediation
Process : Practical Strategies For Resolving Conflict. Jossey-Bass
Publisher, San Fransisco. 1996. Dikutip dari Diktat Kuliah M. Zaidun,
Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa, Surabaya, 2000
[2] Kimberlee K. Kovach, Mediation Principle and Practice. Hlm. 16. Dikutip dari Diktat
Kuliah M. Zaidun, Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa, Surabaya,
2000
[4] Howard
Raiffa, Op. Cit., hlm. 218. Dikutip dari : Suyud Margono, ADR & Arbitrase,
Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, hlm. 59
[5] Suyud Margono, ADR & Arbitrase, Proses
Pelembagaan dan Aspek Hukum, hlm. 59-60.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar