PRINSIP-PRINSIP UNIDROIT
Prinsip-prinsip
UNIDROIT disusun dalam sebuah buku yang memuat pasal-pasal dan dilengkapi
dengan komentar serta contoh-contoh dalam bentuk ilustrasi kasus dimuat dalam
tujuh bab dan 109 pasal. Pada penulisan ini akan dilihat dua belas (12) prinsip
hukum kontrak yang mungkin berguna bagi pembaharuan hukum kontrak Indonesia
saat ini. Kedua belas prinsip tersebut adalah sebagai berikut:[1]
1. Prinsip kebebasan
berkontrak;
2. Prinsip itikad baik (good
faith) dan tranksaksi jujur (fair dealing);
3. Prinsip diakuinya
kebiasaan tranksaksi bisnis di negara setempat;
4. Prinsip kesepakatan
melalui penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance) atau melalui
tindakan.
5. Prinsip larangan
bernegosiasi dengan itikad buruk;
6. Prinsip kewajiban
menjaga kerahasiaan;
7. Prinsip perlindungan
pihak lemah dari syarat-syarat baku;
8. Prinsip syarat sahnya
kontrak.
9. Prinsip dapat
dibatalkanya kontrak bila mengandung perbedaan besar (gross disparity);
10. Prinsip contra
proferentem dalam penafsiran kontrak baku;
11. Prinsip menghormati
kontrak ketika terjadi kesulitan (hardship);
12. Prinsip pembebasan
tanggung jawab dalam keadaan memaksa (force majeur).
Mengenai
prinsip-prinsip kontrak komersial UNIDROIT akan diuraikan lebih lanjut dalam
pembahasan berikut, dan dapat dicermati dengan perbandingan dengan prinsip
dalam BW.
1. Prinsip kebebasan
berkontrak
Yang
dimaksud prinsip kebebasan berkontrak adalah adanya kebebasan seluas-luasnya,
yang oleh undang-undang diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian
tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, kepatutan, dan ketertiban umum.[2]
Prinsip kebebasan berkontrak
termuat dalam pasal 1.1 UPICC yaitu:
“The
parties are free to enter into a contract and determine its content”
Pasal
ini menegaskan bahwa para pihak bebas untuk membuat kontrak, dan kebebasan para
pihak untuk menentukan apa yang mereka sepakati. Dalam komentarnya terhadap
pasal ini, UNIDROIT menambahkan pula bahwa kebebasan para pihak dalam membuat
kontrak ini termasuk didalamnya kebebasan untuk menentukan dengan siapa ia akan
menentukan mitra dagangnya. Status seseorag ini, seperti ditegaskan dengan
tepat oleh Bonnell tidak tergantung pada sistem hukum yang dianutnya, atau
nasionalitasnya.[3]
Dalam
hukum perjanjian yang ada di Indonesia prinsip kebebasan berkontrak ini dapat
dilihat pada pasal 1338 ayat (1) BW, yang menyatakan:
“Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.”
Hal
tersebut menyatakan bahwa segala kontrak yang dibuat oleh para pihak mempunyai
kekuatan yang sama dengan undang-undang. Apabila kontrak tersebut dibuat dengan
sah. Menurut Subekti[4],
cara menyimpulkan asas kebebasan berkontrak ini adalah dengan jalan menekankan
pada perkataan “semua” yang ada dimuka perkataan “perjanjian”. Dikatakan bahwa
pasal 1338 ayat (1) itu seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa
kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita
sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya
berupa apa yang dinamakan “ketertiban umum dan kesusilaan.”
Menurut
Sutan Remi Sjahdeini[5]
asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang
lingkup sebagai berikut:
1. Kebebasan untuk
membuat atau tidak membuat perjanjian.
2. Kebebasan untuk memilih
pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
3. Kebebasan untuk
menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang dibuatnya.
4. Kebebasan untuk
menentukan bentuk suatu perjanjian.
5. Kebebasan untuk
menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvulled,
optional).
Prinsip
kebebasan berkontrak ini tidak selalu diartikan sebagai kebebasan yang mutlak,
kebebasan berkontrak ternyata telah dibatasi oleh beberapa aturan baik dari
hukum domestik maupun dari hukum Internasional yang menmbatasi kebebasan
berkontrak tersebut, diantaranya adalah dalam pasal 1.4 UPICC menyatakan:
“Nothing
in these Principles shall restrict the application of mandatory rules, whether
of national, international or supranational origin, which are applicable in
accordance with the relevant rules of private international law.”
2. Prinsip Itikad Baik
Landasan utama dari setiap
transaksi komersial adalah prinsip itikad baik dan transaksi jujur, kedua
prinsip ini harus melandasi seluruh proses kontrak mulai dari negoisasi sampai
pelaksanaan dan berakhirnya kontrak. Pasal 1.7 UPICC menyatakan:[6]
1.
Each party must act in accordance with good faith and
fair dealing in international trade;
2.
The parties may not exclude or limit this duty.
Berdasarkan substansi pasal
diatas ada tiga unsur prinsip itikad baik dan transaksi jujur, yaitu:[7]
1. Itikad baik dan transaksi jujur sebagai prinsip dasar yang melandasi
kontrak.
2. Prinsip itikad baik dan transaksi jujur dalam UPICCs ditekankan pada
praktik perdagangan internasional.
3. Prinsip itikad baik dan transaksi jujur bersifat memaksa.
3. Prinsip diakuinya kebiasaan transaksi bisnis di negara setempat
Dalam hal ini, UNIDROIT memberikan pedoman
bagaimana hukum kebiasaan berlaku, terlihat dalam Pasal 1.8 UPICC:
“A party cannot act inconsistently with an
understanding it has caused the other party to have and upon which that other
party reasonably has acted in reliance to its detriment”
·
Praktek kebiasaan harus memenuhi kriteria tertentu;
·
Praktek kebiasaan yang berlaku di lingkungan para pihak;
·
Praktek kebiasaan yang disepakati;
·
Praktek kebiasaan lain yang diketahui luas atau rutin dilakukan;
·
Praktek kebiasaan yang tidak benar;
·
Praktek kebiasaan setempat yang berlaku mengesampingkan aturan umum.
Apabila praktek kebiasaan telah disepakati untuk
diberlakukan terhadap suatu transaksi, maka hukum kebiasaan akan
mengesampingkan ketentuan umum yang bertentangan dengan kebiasaan itu.
Alasannya adalah karena hukum kebiasaan setempat mengikat para pihak sebagai
syarat-syarat yang mengatur kontrak secara keseluruhan. Pengecualian diberikan
hanya terhadap ketentuan yang bersifat memaksa.[9]
4.
Prinsip kesepakatan melalui penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance)
Hal ini tertuang dalam Pasal 2.1. UPICC, sebagai berikut:
“A contract may be concluded either by the acceptance of an offer or
by conduct of the parties that is sufficient to show agreement”
Inti
dari ketentuan tersebut adalah bahwa persetujuan terjadi karena:[10]
·
penawaran dan penerimaan;
·
perilaku yang menunjukan adanya persetujuan untuk terikat kontrak.
Dasar pemikiran dari prinsip-prinsip UNIDROIT
adalah dengan tercapainya kata sepakat saja sudah cukup untuk melahirkan
kontrak. Konsep tentang penawaran dan penerimaan digunakan untuk menentukan
apakah dan kapankah para pihak telah mencapai kata sepakat. Namun, dalam
prakteknya terkadang kontrak menyangkut transaksi yang rumit dan seringkali
terwujud setelah melalui negosiasi yang cukup panjang tanpa diketahui urutan
penawaran dan penerimaannya, sehingga sulit untuk menentukan kapan kata sepakat
itu terjadi.[11]
5.
Prinsip larangan bernegosiasi dengan itikad buruk
Larangan untuk melakukan negosiasi yang berdasarkan itikad buruk dalam
Pasal 2.15 UPICC tentang Negotiation
in Bad Faith, sebagai berikut:
“(1) A party is free to negotiate and is not liable for failure to
reach an agreement; (2) However, a party who negotiates or breaks off
negotiations in bad faith is liable for the losses caused to the other party;
(3) It is bad faith, in particular, for a party to enter into or continue negotiations
when intending not to reach an agreement with the other party”.
Jadi
dalam prinsip UNIDROIT tanggung jawab hukum telah lahir sejak proses negosiasi
dan prinsip hukum tentang negosiasi yaitu :[12]
·
Kebebasan negosiasi;
·
Tanggung jawab atas negosiasi dengan itikad buruk;
·
Tanggung jawab atas pembatalan negosiasi dengan itikad buruk.
6.
Prinsip kewajiban menjaga kerahasiaan atas Informasi Yang diperoleh pada saat
Negosiasi
Ketika para pihak melakukan negosiasi, tentu ada
rahasia perusahaan yang terbuka dan diketahui oleh kedua belah pihak. Ada
kemungkinan mereka memanfaatkan rahasia tersebut untuk keuntungannya. Pasal 2.16 UPICC mengatur kewajiban menjaga kerahasiaan:
“Where information is given as confidential by one party in the course
of negotiations, the other party is under a duty not to disclose that
information or to use it improperly for its own purposes, whether or not a
contract is subsequently concluded. Where appropriate, the remedy for breach of
that duty may include compensation based on the benefit received by the other
party”
Dari ketentuan dia atas, dapat disimpulkan bahwa
para pihak pada dasarnya tidak wajib menjaga rahasia. Akan tetapi, ada
informasi yang memiliki sifat rahasia sehingga perlu dirahasiakan dan
dimungkinkan adanya kerugian yang harus dipulihkan. Apabila tidak ada kewajiban
yang disepakati, para pihak dalam negosiasi pada dasarnya tidak wajib untuk
memberlakukan bahwa informasi yang
mereka pertukarkan sebagai hal yang rahasia. Dengan kata lain, para pihak
diberi kebebasan untuk menentukan informasi mana yang bersifat rahasia dan
tidak.
6.
Prinsip perlindungan pihak lemah dari syarat-syarat baku
Praktek menggunakan kontrak baku dapat dilihat
dalam Pasal 2.19 UPICC, yaitu:
“(1) Where one party or both parties use standard
terms in concluding a contract, the general rules on formation apply, subject
to Articles 2.1.20 - 2.1.22. (2) Standard terms are provisions which are
prepared in advance for general and repeated use by one party and which are
actually used without negotiation with the other party”
Pasal dia atas mengandung ketentuan, sebagai
berikut:
·
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat
baku, maka berlaku aturan umum tentang pembentukan kotrak dengan tunduk pada UPICC Pasal 2.20 sampai 2.22[13];
·
Syarat baku merupakan aturan yang dipersiapkan terlebih dahulu untuk
dipergunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak yang secara
nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lain.
7.
Prinsip syarat sahnya kontrak
Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal
3.1 UPICC, yaitu:
“These Principles do not deal with invalidity arising from (a) lack of
capacity; (b) immorality or illegality”
Hal ini dapat diartikan bahwa prinsip UNIDROIT
tidak mengatur ketidakabsahan yang timbul dari tidak memiliki kemampuan, tidak
memiliki kewenangan, amoralitas dan ilegalitas. Mungkin semua dasar syarat sahnya kontrak yang ditemukan dalam berbagai
sistem hukum nasional dipakai dalam ruang lingkup prinsip UNIDROIT. Alasan
pengecualian ini mengingat baik karena kompleksitas yang melekat pada masalah
status, kewenangan, dan kebijaksanaan publik serta perbedaan yang ekstrem
mengenai bagaimana hal itu diberlakukan dalam hukum domestik.[14]
8.
Prinsip dapat dibatalkannya kontrak bila mengandung perbedaan besar (gross disparity)
Prinsip ini pada dasarnya merupakan pelaksanaan
dari prinsip itikad baik (good faith)
dan transaksi jujur (fair dealing)
serta prinsip keseimbangan dan keadilan. Hal ini dilandasi adanya kenyataan
disparitas yang besar di masyarakat. Oleh karena itu, diperlukannya sistem
aturan yang dapat melindungi pihak yang memiliki posisi yang tidak
menguntungkan. Prinsip-prinsip UNIDROIT mengaturnya dalam Pasal 3.10 UPICC:
“(1) A party may avoid the contract or an individual term of it if, at
the time of the conclusion of the contract, the contract or term unjustifiably
gave the other party an excessive advantage. Regard is to be had, among other
factors, to (a) the fact that the other party has taken unfair advantage of the
first party’s dependence, economic distress or urgent needs, or of its
improvidence, ignorance, inexperience or lack of bargaining skill, and (b) the
nature and purpose of the contract.
(2) Upon the request of the party entitled to avoidance, a court may
adapt the contract or term in order to make it accord with reasonable commercial
standards of fair dealing.
(3) A court may also adapt the contract or term upon the request of
the party receiving notice of avoidance, provided that that party informs the
other party of its request promptly after receiving such notice and before the
other party has reasonably acted in reliance on it. The provisions of Article
3.13(2) apply accordingly”
Salah satu pihak boleh meminta pembatalan kontrak
apabila terjadi perbedaan mencolok (gross
disparity) yang memberikan keuntungan berlebihan dan secara tidak sah
kepada salah satu pihak. Keadaan demikian didasarkan pada:[15]
·
Fakta bahwa pihak lain telah mendapatkan keuntungan secara curang dari
ketergantungan, kesulitan ekonomi atau kebutuhan yang mendesak, atau dari
keborosan, ketidaktahuan, kekurangpahaman atau kekurangahlian dalam tawar
menawar;
·
Sifat dan tujuan dari kontrak.
Atas permintaan pembatalan kontrak oleh pihak
yang berhak, pengadilan dapat mengubah kontrak atau syarat tersebut agar sesuai
dengan standar komersial yang wajar dari transaksi yang jujur. Pengadilan dapat
juga mengubah seluruh kontrak atau sebagian syaratnya atas permintaan pihak
yang menerima pemberitahuan pembatalan. Pemohon harus memberitahu pihak lain
tentang permohonannya tersebut.[16]
Adanya perbedaan yang besar mengenai keuntungan
yang tidak dibenarkan, hal ini disebabkan oleh posisi tawar yang seimbang,
sifat dan tujuan dari kontrak, dan faktor-foktor lain sehingga menimbulkan hak
untuk membatalkan atau mengubah kontrak tersebut.
9.
Prinsip contra proferentem
dalam penafsiran kontrak baku
Pengaturan penafsiran kontrak diatur dalam UPICC Chapter 4.1 sampai dengan delapan pasal (Pasal 4.1 sampai dengan
4.8). Pasal 4.6 menyatakan:
“If contract terms supplied by one party are unclear, an
interpretation against that party is preferred”
Ketentuan ini menyatakan bahwa jika syarat
kontrak yang diajukan oleh salah satu pihak tidak jelas, maka penafsiran yang
berlawanan dengan pihak tersebut harus didahulukan.
Para pihak harus bertanggung jawab atas rumusan
syarat kontrak, baik kontrak yang dirancang sendiri maupun karena adanya
pengajuan syarat-syarat terhadap kontrak tersebut. Misalnya dengan menggunakan
syarat baku yang dipersiapkan terlebih dahulu, terkadang pihak pembuat
diharuskan menanggung resiko atas ketidakjelasan rumusan yang dibuatnya.[17]
Hal ini merupakan alasan mengapa pasal tersebut
menentukan bahwa jika syarat kontrak yang diajukan oleh salah satu pihak tidak
jelas. Maka diberikan preferensi penafsiran yang berlawanan dengan pembuat
syarat baku tersebut. Cara pemberlakuan aturan ini akan bergantung pada hal-hal
sebagai berikut:[18]
·
Keadaan dari kasus yang dihadapi;
·
Sifat kekurangan syarat kontrak yang merupakan pokok objek negosiasi
lebih lanjut antara para pihak;
·
Pembenaran untuk menafsirkan syarat itu yang melawan pihak pembuat
klausul baku tersebut.
Kontrak komersial internasional sering dibuat
dalam dua atau lebih versi bahasa yang dapat mempertemukan butir-butir
tertentu. Terkadang para pihak menentukan versi mana yang dapat diberlakukan
jika terjadinya perbedaan penafsiran. Hal ini diperkuat dengan pernyataan dalam
Pasal 4.7[19] UPICC mengenai linguistic discrepancies yang menentukan bahwa
apabila kontrak dibuat dalam dua atau lebih versi bahasa yang semuanya berlaku,
jika terjadi pertentangan diantaranya maka prioritas penafsiran digunakan
menurut versi asli dari kontrak itu.
Selanjutnya dalam Pasal 4.8 UPICC mengenai supplying an omitted term menyatakan bahwa apabila para pihak dalam
kontrak tidak sepakat atas suatu syarat yang penting dalam menentukan hak dan
kewajiban mereka, maka harus dipilih syarat yang paling tepat dengan keadaan
tersebut. Faktor-faktor yang dapat digunakan untuk menentukan syarat-syarat
yang tepat, sebagai berikut:
·
Kehendak para pihak;
·
Sifat dan tujuan dari kontrak;
·
Itikad baik dan transaksi wajar;
·
Kelayakan.
Jika keinginan para pihak tidak ditentukan secara
jelas, syarat yang diajukan dapat ditentukan sesuai dengan sifat dan tujuan
dari kontrak tersebut. Hal ini dengan tetap memperhatikan prinsip itikad baik
dan transaksi jujur serta kewajaran.
10.
Prinsip menghormati kontrak ketika terjadi kesulitan (hardship)
Ketentuan tentang hardship dibedakan dengan ketentuan tentang force majeur. Ketentuan tentang hardship
ini tertuang dalam Section 2, yang terdiri dari 3 (tiga) pasal.[20] Dalam Pasal 6.2.1
UPICC menentukan
bahwa apabila pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat bagi salah satu pihak,
pihak tersebut bagaimanapun juga terikat melaksanakan perikatannya dengan
tunduk pada ketentuan tentang hardship. Ketentuan ini menentukan dua hal pokok,
yaitu sifat mengikat dari kontrak sebagai aturan umum dan perubahan keadaan
yang relevan dengan kontrak jangka panjang.[21]
Prinsip mengikatnya kontrak bagaimana pun juga
bukan suatu yang absolut. Apabila terjadi keadaan yang menimbulkan perubahan
fundamental atas keseimbangan dari kontrak, keadaan itu merupakan situasi yang
dikecualikan yang dimaksud dalam prinsip-prinsip ini sebagai hardship.
Pasal 6.2.2 UPICC memberikan definisi tentang peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai
hardship, yaitu peristiwa yang secara fundamental telah mengubah keseimbangan
kontrak. Hal ini diakibatkan oleh biaya pelaksanaan kontrak meningkat sangat
tinggi atau nilai pelaksanaan kontrak bagi pihak yang menerima sangat menurun,
sementara itu:[22]
·
Peristiwa itu terjadi atau diketahui oleh pihak yang dirugikan setelah
penutupan kontrak;
·
Peristiwa tidak dapat diperkirakan secara semestinya oleh pihak yang
dirugikan pada saat penutupan kontrak;
·
Peristiwa terjadi di luar kontrol dari pihak yang dirugikan;
·
Resiko dari peristiwa itu tidak diperkirakan oleh pihak yang
dirugikan.
Unsur hardship
tertuang dalam Pasal 6.2.2 (a) sampai dengan (d) UPICC, yaitu
perubahan keseimbangan kontrak secara fundamental, meningkatnya ongkos
pelaksanaan kontrak, dan menurunnya nilai pelaksanaan kontrak yang harus
diterima oleh salah satu pihak.
Menurut prinsip umum, adanya perubahan keadaan
tidak mempengaruhi kewajiban pelaksanaan kontrak, oleh karena itu adanya hardship tidak dapat dijadikan alasan pembatalan
kontrak, kecuali perubahan itu bersifat fundamental.[23]
Definisi hardship
dalam Pasal 6.2.1 UPICC lebih
bersifat umum, sedangkan kontrak komersial internasional seringkali memuat
aturan yang konkret dan terperinci. Para pihak dapat saja merubah isi aturan
kontrak dalam rangka menyesuaikannya dengan keadaan khusus dari transaksi.
Akibat hukum dari peristiwa ini dapat dilihat dalam Pasal 6.2.3 UPICC sebagai berikut:
·
Pihak yang dirugikan berhak untuk meminta renegosiasi kontrak kepada
pihak lain. Permintaan tersebut harus diajukan segera dengan menunjukan
dasar-dasarnya;
·
Permintaan renegosiasi tidak dengan sendirinya memberikan hak kepada
pihak yang dirugikan untuk menghentikan pelaksanaan kontrak;
·
Apabila para pihak gagal untuk mencapai kesepakatan dalam jangka waktu
yang wajar, masing-masing pihak dapat mengajukannya ke pengadilan;
·
Apabila pengadilan membuktikan adanya hardship maka pengadilan dapat memutuskan untuk mengakhiri kontrak
pada tanggal dan jangka waktu yang pasti, atau dapat pula mengubah kontrak
untuk mengembalikan keseimbangannya.
11.
Prinsip pembebasan tanggung jawab dalam keadaan memaksa (force majeur)
Pembahasan tentang force majeur ini terdapat dalam Pasal 7.1.7 UPICC[24], pasal
ini mengatur tentang keadaan memaksa dengan menyatakan antara lain, sebagai
berikut:[25]
·
Force majeur yang dilakukan oleh salah satu pihak yang
dimaafkan apabila pihak tersebut dapat membuktikan bahwa force majeur tersebut disebabkan oleh suatu rintangan di luar
pengawasannya dan hal itu secara wajar tidak diharapkan akan terjadi;
·
Apabila rintangan hanya bersifat sementara, maka pemberian maaf akan
berakibat hukum atas jangka waktu dengan memperhatikan akibat dari rintangan
pelaksanaan kontrak tersebut;
·
Pihak yang gagal melaksanakan kontrak harus memberipemberitahuan
kepada pihak lainnya tentang rintangan dan akibat terhadap kemampuannya untuk
melaksanakan kontrak. Jika pemberitahuan itu tidak diterima oleh pihak lain
dalam jangka waktu yang wajar, setelah pihak yang gagal melaksanakan mengentahui
atau seharusnya telah mengetahui adanya rintangan itu, ia bertanggung jawab
atas kerugian akibat dari tidak diterimanya pemberitahuan tersebut;
·
Pasal ini tidak mencegah salah satu pihak untuk menggunakan haknya
mengakhiri kontrak, menahan pelaksanaan kontrak, atau meminta pembayaran bunga
atas uang yang telah jatuh tempo.
[3] Micchael Joachim Bonnel, “The UNIDROIT Principles of
International Commercial Contract:Why?What?How?,” 69 Tul. L. Rev. 1121
(1995)., Dikutip dari Huala Adolf, Op. Cit., Hal. 90
[4] Subekti, Aneka
Perjanjian, Cet. Keenam, Alumni, Bandung, 1995, Hal. 4-5
[5] Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan
Perlindungan Hukum yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank
Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta. Institut Bangkir Indonesia, 1993. Hal.
47
[9] Hal ini diperkuat
pula dengan ketentuan dalam Pasal 1.5 UPICC.
[10] Taryana
Soenandar. Op.cit., h.
[11] Lihat juga ketentuan
dalam Pasal 4.1 UPICC mengenai Intention of the parties.
[12]http://notarissby.blogspot.com/2009/03/prinsip-kontrak-komersial-international.html
diakses tanggal 30 Oktober 2010 [13] Ketentuan UPICC Pasal 2.1.20 tentang Surprising terms “(1) No term contained in
standard terms which is of such a character that the other party could
not reasonably have expected it, is effective unless it has been expressly accepted
by that party. (2) In determining whether a term is of such a character
regard shall be had to its content, language and presentation.”, Pasal 2.1.21 tentang Conflict between standard terms and
non-standard terms “In case of
conflict between a standard term and a term which is not a standard term the
latter prevails”, Pasal 2.1.22
tentang Battle of forms “Where
both parties use standard terms and reach agreement except on those terms, a
contract is concluded on the basis of the agreed terms and of any standard
terms which are common in substance unless one party clearly indicates in
advance, or later and without undue delay informs the other party, that
it does not intend to be bound by such a contract”.
[14] Taryana Sunandar, op.cit.,
h. 64.
[16] Ibid., h. 66.
[18] Ibid.,h.69
[19] Lihat ketentuan Pasal 4.6 UPICC “Where a
contract is drawn up in two or more language versions which are equally authoritative there is, in case of
discrepancy between the versions, a preference for the interpretation according
to a version in which the contract was originally drawn up”.
[20] Lihat ketentuan mengenai hardship dalam UPICC, Pasal 6.2.1 tentang Contract to be observed “Where the performance of a contract becomes
more onerous for one of the parties, that party is nevertheless bound to
perform its obligations subject to the following provisions on hardship”.
Pasal 6.2.2 tentang Definition
of hardship “There is hardship where
the occurrence of events fundamentally alters the equilibrium of the contract
either because the cost of a party’s performance has increased or because the
value of the performance a party receives has diminished, and (a) the events
occur or become known to the disadvantaged party after the conclusion of the
contract; (b) the events could not reasonably have been taken into account by
the disadvantaged party at the time of the conclusion of the contract; (c) the
events are beyond the control of the disadvantaged party; and (d) the risk of
the events was not assumed by the disadvantaged party”. Pasal 6.2.3 tentang Effects of hardship
“(1) In case of hardship the
disadvantaged party is entitled to request renegotiations. The request shall be
made without undue delay and shall indicate the grounds on which it is based.
(2) The request for renegotiation does not in itself entitle the disadvantaged
party to withhold performance. (3) Upon failure to reach agreement within a
reasonable time either party may resort to the court. (4) If the court finds
hardship it may, if reasonable, (a) terminate the contract at a date and on
terms to be fixed, or (b) adapt the contract with a view to restoring its
equilibrium”.
[22] Ibid., h. 72
[23] Apa yang dimaksud dengan “fundamental” tentu saja akan sangat
tergantung pada keadaan dari peristiwa tersebut. Jika yang dimaksud dengan
pelaksanaan kontrak adalah suatu kemampuan yang dapat dihitung dengan syarat
keuangan secara pasti. Maka perubahan yang bernilai 50 % (lima puluh persen)
atau lebih dari biaya atau dari nilai pelaksanaan kontrak dianggap sebagai
jumlah yang “fundamental”. Lihat Taryana Soenandar. Ibid., h. 73.
[24] Pasal 7.1.7
UPICC“(1) Non-performance by a party is excused if that party proves that
the non performance was due to
an impediment beyond its control and that it could not reasonably be
expected to have taken the impediment into account at the time of the conclusion
of the contract or to have avoided or overcome it or its consequences. (2)
When the impediment is only temporary, the excuse shall have effect for such
period as is reasonable having regard to the effect of the impediment on
the performance of the contract. (3) The party who fails to
perform must give notice to the other party of the impediment and its
effect on its ability to perform. If the notice is not received by the other
party within a reasonable time after the party who fails to perform knew or
ought to have known of the impediment, it is liable for damages
resulting from such non receipt. (4) Nothing in this article prevents a party
from exercising a right to terminate the contract or to withhold performance or
request interest on money due”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar