Selasa, 05 Mei 2015

PRINSIP-PRINSIP UNIDROIT


PRINSIP-PRINSIP UNIDROIT
 
Prinsip-prinsip UNIDROIT disusun dalam sebuah buku yang memuat pasal-pasal dan dilengkapi dengan komentar serta contoh-contoh dalam bentuk ilustrasi kasus dimuat dalam tujuh bab dan 109 pasal. Pada penulisan ini akan dilihat dua belas (12) prinsip hukum kontrak yang mungkin berguna bagi pembaharuan hukum kontrak Indonesia saat ini. Kedua belas prinsip tersebut adalah sebagai berikut:[1]
1.      Prinsip kebebasan berkontrak;
2.      Prinsip itikad baik (good faith) dan tranksaksi jujur (fair dealing);
3.      Prinsip diakuinya kebiasaan tranksaksi bisnis di negara setempat;
4.      Prinsip kesepakatan melalui penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance) atau melalui tindakan.
5.      Prinsip larangan bernegosiasi dengan itikad buruk;
6.      Prinsip kewajiban menjaga kerahasiaan;
7.      Prinsip perlindungan pihak lemah dari syarat-syarat baku;
8.      Prinsip syarat sahnya kontrak.
9.      Prinsip dapat dibatalkanya kontrak bila mengandung perbedaan besar (gross disparity);
10.  Prinsip contra proferentem dalam penafsiran kontrak baku;
11.  Prinsip menghormati kontrak ketika terjadi kesulitan (hardship);
12.  Prinsip pembebasan tanggung jawab dalam keadaan memaksa (force majeur).
Mengenai prinsip-prinsip kontrak komersial UNIDROIT akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan berikut, dan dapat dicermati dengan perbandingan dengan prinsip dalam BW.
1. Prinsip kebebasan berkontrak
Yang dimaksud prinsip kebebasan berkontrak adalah adanya kebebasan seluas-luasnya, yang oleh undang-undang diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan ketertiban umum.[2]
Prinsip kebebasan berkontrak termuat dalam pasal 1.1 UPICC yaitu:
“The parties are free to enter into a contract and determine its content”
Pasal ini menegaskan bahwa para pihak bebas untuk membuat kontrak, dan kebebasan para pihak untuk menentukan apa yang mereka sepakati. Dalam komentarnya terhadap pasal ini, UNIDROIT menambahkan pula bahwa kebebasan para pihak dalam membuat kontrak ini termasuk didalamnya kebebasan untuk menentukan dengan siapa ia akan menentukan mitra dagangnya. Status seseorag ini, seperti ditegaskan dengan tepat oleh Bonnell tidak tergantung pada sistem hukum yang dianutnya, atau nasionalitasnya.[3]
Dalam hukum perjanjian yang ada di Indonesia prinsip kebebasan berkontrak ini dapat dilihat pada pasal 1338 ayat (1) BW, yang menyatakan:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Hal tersebut menyatakan bahwa segala kontrak yang dibuat oleh para pihak mempunyai kekuatan yang sama dengan undang-undang. Apabila kontrak tersebut dibuat dengan sah. Menurut Subekti[4], cara menyimpulkan asas kebebasan berkontrak ini adalah dengan jalan menekankan pada perkataan “semua” yang ada dimuka perkataan “perjanjian”. Dikatakan bahwa pasal 1338 ayat (1) itu seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ketertiban umum dan kesusilaan.”
Menurut Sutan Remi Sjahdeini[5] asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:
1.      Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
2.      Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
3.      Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang dibuatnya.
4.      Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
5.      Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvulled, optional).
Prinsip kebebasan berkontrak ini tidak selalu diartikan sebagai kebebasan yang mutlak, kebebasan berkontrak ternyata telah dibatasi oleh beberapa aturan baik dari hukum domestik maupun dari hukum Internasional yang menmbatasi kebebasan berkontrak tersebut, diantaranya adalah dalam pasal 1.4 UPICC menyatakan:
“Nothing in these Principles shall restrict the application of mandatory rules, whether of national, international or supranational origin, which are applicable in accordance with the relevant rules of private international law.”


2. Prinsip Itikad Baik
Landasan utama dari setiap transaksi komersial adalah prinsip itikad baik dan transaksi jujur, kedua prinsip ini harus melandasi seluruh proses kontrak mulai dari negoisasi sampai pelaksanaan dan berakhirnya kontrak. Pasal 1.7 UPICC menyatakan:[6]
1.      Each party must act in accordance with good faith and fair dealing in international trade;
2.      The parties may not exclude or limit this duty.
Berdasarkan substansi pasal diatas ada tiga unsur prinsip itikad baik dan transaksi jujur, yaitu:[7]
1.      Itikad baik dan transaksi jujur sebagai prinsip dasar yang melandasi kontrak.
2.      Prinsip itikad baik dan transaksi jujur dalam UPICCs ditekankan pada praktik perdagangan internasional.
3.      Prinsip itikad baik dan transaksi jujur bersifat memaksa.
3.    Prinsip diakuinya kebiasaan transaksi bisnis di negara setempat
                        Dalam hal ini, UNIDROIT memberikan pedoman bagaimana hukum kebiasaan berlaku, terlihat dalam Pasal 1.8 UPICC:
“A party cannot act inconsistently with an understanding it has caused the other party to have and upon which that other party reasonably has acted in reliance to its detriment”
                        Ketentuan di atas mengandung hal-hal pokok yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa:[8]
·      Praktek kebiasaan harus memenuhi kriteria tertentu;
·      Praktek kebiasaan yang berlaku di lingkungan para pihak;
·      Praktek kebiasaan yang disepakati;
·      Praktek kebiasaan lain yang diketahui luas atau rutin dilakukan;
·      Praktek kebiasaan yang tidak benar;
·      Praktek kebiasaan setempat yang berlaku mengesampingkan aturan umum.
            Apabila praktek kebiasaan telah disepakati untuk diberlakukan terhadap suatu transaksi, maka hukum kebiasaan akan mengesampingkan ketentuan umum yang bertentangan dengan kebiasaan itu. Alasannya adalah karena hukum kebiasaan setempat mengikat para pihak sebagai syarat-syarat yang mengatur kontrak secara keseluruhan. Pengecualian diberikan hanya terhadap ketentuan yang bersifat memaksa.[9]
4.        Prinsip kesepakatan melalui penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance)
                        Hal ini tertuang dalam Pasal 2.1. UPICC, sebagai berikut:
“A contract may be concluded either by the acceptance of an offer or by conduct of the parties that is sufficient to show agreement”
Inti dari ketentuan tersebut adalah bahwa persetujuan terjadi karena:[10]
·      penawaran dan penerimaan;
·      perilaku yang menunjukan adanya persetujuan untuk terikat kontrak.
            Dasar pemikiran dari prinsip-prinsip UNIDROIT adalah dengan tercapainya kata sepakat saja sudah cukup untuk melahirkan kontrak. Konsep tentang penawaran dan penerimaan digunakan untuk menentukan apakah dan kapankah para pihak telah mencapai kata sepakat. Namun, dalam prakteknya terkadang kontrak menyangkut transaksi yang rumit dan seringkali terwujud setelah melalui negosiasi yang cukup panjang tanpa diketahui urutan penawaran dan penerimaannya, sehingga sulit untuk menentukan kapan kata sepakat itu terjadi.[11]
5.    Prinsip larangan bernegosiasi dengan itikad buruk
Larangan untuk melakukan negosiasi yang berdasarkan itikad buruk dalam Pasal 2.15 UPICC tentang Negotiation in Bad Faith, sebagai berikut:
“(1) A party is free to negotiate and is not liable for failure to reach an agreement; (2) However, a party who negotiates or breaks off negotiations in bad faith is liable for the losses caused to the other party; (3) It is bad faith, in particular, for a party to enter into or continue negotiations when intending not to reach an agreement with the other party”.
Jadi dalam prinsip UNIDROIT tanggung jawab hukum telah lahir sejak proses negosiasi dan prinsip hukum tentang negosiasi yaitu :[12]
·      Kebebasan negosiasi;
·      Tanggung jawab atas negosiasi dengan itikad buruk;
·      Tanggung jawab atas pembatalan negosiasi dengan itikad buruk.
6.    Prinsip kewajiban menjaga kerahasiaan atas Informasi Yang diperoleh pada saat Negosiasi
            Ketika para pihak melakukan negosiasi, tentu ada rahasia perusahaan yang terbuka dan diketahui oleh kedua belah pihak. Ada kemungkinan mereka memanfaatkan rahasia tersebut untuk keuntungannya. Pasal 2.16 UPICC mengatur kewajiban menjaga kerahasiaan:
“Where information is given as confidential by one party in the course of negotiations, the other party is under a duty not to disclose that information or to use it improperly for its own purposes, whether or not a contract is subsequently concluded. Where appropriate, the remedy for breach of that duty may include compensation based on the benefit received by the other party”
            Dari ketentuan dia atas, dapat disimpulkan bahwa para pihak pada dasarnya tidak wajib menjaga rahasia. Akan tetapi, ada informasi yang memiliki sifat rahasia sehingga perlu dirahasiakan dan dimungkinkan adanya kerugian yang harus dipulihkan. Apabila tidak ada kewajiban yang disepakati, para pihak dalam negosiasi pada dasarnya tidak wajib untuk memberlakukan bahwa  informasi yang mereka pertukarkan sebagai hal yang rahasia. Dengan kata lain, para pihak diberi kebebasan untuk menentukan informasi mana yang bersifat rahasia dan tidak.
6.    Prinsip perlindungan pihak lemah dari syarat-syarat baku
            Praktek menggunakan kontrak baku dapat dilihat dalam Pasal 2.19  UPICC, yaitu:
“(1) Where one party or both parties use standard terms in concluding a contract, the general rules on formation apply, subject to Articles 2.1.20 - 2.1.22. (2) Standard terms are provisions which are prepared in advance for general and repeated use by one party and which are actually used without negotiation with the other party”
Pasal dia atas mengandung ketentuan, sebagai berikut:
·         Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat baku, maka berlaku aturan umum tentang pembentukan kotrak dengan tunduk pada UPICC Pasal 2.20 sampai 2.22[13];
·         Syarat baku merupakan aturan yang dipersiapkan terlebih dahulu untuk dipergunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak yang secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lain.
7.    Prinsip syarat sahnya kontrak
            Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3.1 UPICC, yaitu:
“These Principles do not deal with invalidity arising from (a) lack of capacity; (b) immorality or illegality”
            Hal ini dapat diartikan bahwa prinsip UNIDROIT tidak mengatur ketidakabsahan yang timbul dari tidak memiliki kemampuan, tidak memiliki kewenangan, amoralitas dan ilegalitas. Mungkin semua dasar syarat sahnya kontrak yang ditemukan dalam berbagai sistem hukum nasional dipakai dalam ruang lingkup prinsip UNIDROIT. Alasan pengecualian ini mengingat baik karena kompleksitas yang melekat pada masalah status, kewenangan, dan kebijaksanaan publik serta perbedaan yang ekstrem mengenai bagaimana hal itu diberlakukan dalam hukum domestik.[14]
8.    Prinsip dapat dibatalkannya kontrak bila mengandung perbedaan besar (gross disparity)
            Prinsip ini pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari prinsip itikad baik (good faith) dan transaksi jujur (fair dealing) serta prinsip keseimbangan dan keadilan. Hal ini dilandasi adanya kenyataan disparitas yang besar di masyarakat. Oleh karena itu, diperlukannya sistem aturan yang dapat melindungi pihak yang memiliki posisi yang tidak menguntungkan. Prinsip-prinsip UNIDROIT mengaturnya dalam Pasal 3.10 UPICC:
“(1) A party may avoid the contract or an individual term of it if, at the time of the conclusion of the contract, the contract or term unjustifiably gave the other party an excessive advantage. Regard is to be had, among other factors, to (a) the fact that the other party has taken unfair advantage of the first party’s dependence, economic distress or urgent needs, or of its improvidence, ignorance, inexperience or lack of bargaining skill, and (b) the nature and purpose of the contract.
(2) Upon the request of the party entitled to avoidance, a court may adapt the contract or term in order to make it accord with reasonable commercial standards of fair dealing.
(3) A court may also adapt the contract or term upon the request of the party receiving notice of avoidance, provided that that party informs the other party of its request promptly after receiving such notice and before the other party has reasonably acted in reliance on it. The provisions of Article 3.13(2) apply accordingly”
            Salah satu pihak boleh meminta pembatalan kontrak apabila terjadi perbedaan mencolok (gross disparity) yang memberikan keuntungan berlebihan dan secara tidak sah kepada salah satu pihak. Keadaan demikian didasarkan pada:[15]
·      Fakta bahwa pihak lain telah mendapatkan keuntungan secara curang dari ketergantungan, kesulitan ekonomi atau kebutuhan yang mendesak, atau dari keborosan, ketidaktahuan, kekurangpahaman atau kekurangahlian dalam tawar menawar;
·      Sifat dan tujuan dari kontrak.
            Atas permintaan pembatalan kontrak oleh pihak yang berhak, pengadilan dapat mengubah kontrak atau syarat tersebut agar sesuai dengan standar komersial yang wajar dari transaksi yang jujur. Pengadilan dapat juga mengubah seluruh kontrak atau sebagian syaratnya atas permintaan pihak yang menerima pemberitahuan pembatalan. Pemohon harus memberitahu pihak lain tentang permohonannya tersebut.[16]
            Adanya perbedaan yang besar mengenai keuntungan yang tidak dibenarkan, hal ini disebabkan oleh posisi tawar yang seimbang, sifat dan tujuan dari kontrak, dan faktor-foktor lain sehingga menimbulkan hak untuk membatalkan atau mengubah kontrak tersebut.
9.    Prinsip contra proferentem dalam penafsiran kontrak baku
            Pengaturan penafsiran kontrak diatur dalam UPICC Chapter 4.1 sampai dengan delapan pasal (Pasal 4.1 sampai dengan 4.8). Pasal 4.6 menyatakan:
“If contract terms supplied by one party are unclear, an interpretation against that party is preferred”
            Ketentuan ini menyatakan bahwa jika syarat kontrak yang diajukan oleh salah satu pihak tidak jelas, maka penafsiran yang berlawanan dengan pihak tersebut harus didahulukan.
            Para pihak harus bertanggung jawab atas rumusan syarat kontrak, baik kontrak yang dirancang sendiri maupun karena adanya pengajuan syarat-syarat terhadap kontrak tersebut. Misalnya dengan menggunakan syarat baku yang dipersiapkan terlebih dahulu, terkadang pihak pembuat diharuskan menanggung resiko atas ketidakjelasan rumusan yang dibuatnya.[17]
            Hal ini merupakan alasan mengapa pasal tersebut menentukan bahwa jika syarat kontrak yang diajukan oleh salah satu pihak tidak jelas. Maka diberikan preferensi penafsiran yang berlawanan dengan pembuat syarat baku tersebut. Cara pemberlakuan aturan ini akan bergantung pada hal-hal sebagai berikut:[18]
·      Keadaan dari kasus yang dihadapi;
·      Sifat kekurangan syarat kontrak yang merupakan pokok objek negosiasi lebih lanjut  antara para pihak;
·      Pembenaran untuk menafsirkan syarat itu yang melawan pihak pembuat klausul baku tersebut.
            Kontrak komersial internasional sering dibuat dalam dua atau lebih versi bahasa yang dapat mempertemukan butir-butir tertentu. Terkadang para pihak menentukan versi mana yang dapat diberlakukan jika terjadinya perbedaan penafsiran. Hal ini diperkuat dengan pernyataan dalam Pasal 4.7[19] UPICC mengenai linguistic discrepancies yang menentukan bahwa apabila kontrak dibuat dalam dua atau lebih versi bahasa yang semuanya berlaku, jika terjadi pertentangan diantaranya maka prioritas penafsiran digunakan menurut versi asli dari kontrak itu.
            Selanjutnya dalam Pasal 4.8 UPICC mengenai supplying an omitted term menyatakan bahwa apabila para pihak dalam kontrak tidak sepakat atas suatu syarat yang penting dalam menentukan hak dan kewajiban mereka, maka harus dipilih syarat yang paling tepat dengan keadaan tersebut. Faktor-faktor yang dapat digunakan untuk menentukan syarat-syarat yang tepat, sebagai berikut:
·      Kehendak para pihak;
·      Sifat dan tujuan dari kontrak;
·      Itikad baik dan transaksi wajar;
·      Kelayakan.
            Jika keinginan para pihak tidak ditentukan secara jelas, syarat yang diajukan dapat ditentukan sesuai dengan sifat dan tujuan dari kontrak tersebut. Hal ini dengan tetap memperhatikan prinsip itikad baik dan transaksi jujur serta kewajaran.
10.    Prinsip menghormati kontrak ketika terjadi kesulitan (hardship)
            Ketentuan tentang hardship dibedakan dengan ketentuan tentang force majeur. Ketentuan tentang hardship ini tertuang dalam Section 2, yang terdiri dari 3 (tiga) pasal.[20] Dalam Pasal 6.2.1 UPICC menentukan bahwa apabila pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat bagi salah satu pihak, pihak tersebut bagaimanapun juga terikat melaksanakan perikatannya dengan tunduk pada ketentuan tentang hardship. Ketentuan ini menentukan dua hal pokok, yaitu sifat mengikat dari kontrak sebagai aturan umum dan perubahan keadaan yang relevan dengan kontrak jangka panjang.[21]
            Prinsip mengikatnya kontrak bagaimana pun juga bukan suatu yang absolut. Apabila terjadi keadaan yang menimbulkan perubahan fundamental atas keseimbangan dari kontrak, keadaan itu merupakan situasi yang dikecualikan yang dimaksud dalam prinsip-prinsip ini sebagai hardship.
            Pasal 6.2.2 UPICC memberikan definisi tentang peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai hardship, yaitu peristiwa yang secara fundamental telah mengubah keseimbangan kontrak. Hal ini diakibatkan oleh biaya pelaksanaan kontrak meningkat sangat tinggi atau nilai pelaksanaan kontrak bagi pihak yang menerima sangat menurun, sementara itu:[22]
·      Peristiwa itu terjadi atau diketahui oleh pihak yang dirugikan setelah penutupan kontrak;
·      Peristiwa tidak dapat diperkirakan secara semestinya oleh pihak yang dirugikan pada saat penutupan kontrak;
·      Peristiwa terjadi di luar kontrol dari pihak yang dirugikan;
·      Resiko dari peristiwa itu tidak diperkirakan oleh pihak yang dirugikan.
            Unsur hardship tertuang dalam Pasal 6.2.2 (a) sampai dengan (d) UPICC, yaitu perubahan keseimbangan kontrak secara fundamental, meningkatnya ongkos pelaksanaan kontrak, dan menurunnya nilai pelaksanaan kontrak yang harus diterima oleh salah satu pihak.
            Menurut prinsip umum, adanya perubahan keadaan tidak mempengaruhi kewajiban pelaksanaan kontrak, oleh karena itu adanya hardship tidak dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak, kecuali perubahan itu bersifat fundamental.[23]
            Definisi hardship dalam Pasal 6.2.1 UPICC lebih bersifat umum, sedangkan kontrak komersial internasional seringkali memuat aturan yang konkret dan terperinci. Para pihak dapat saja merubah isi aturan kontrak dalam rangka menyesuaikannya dengan keadaan khusus dari transaksi. Akibat hukum dari peristiwa ini dapat dilihat dalam Pasal 6.2.3 UPICC sebagai berikut:
·      Pihak yang dirugikan berhak untuk meminta renegosiasi kontrak kepada pihak lain. Permintaan tersebut harus diajukan segera dengan menunjukan dasar-dasarnya;
·      Permintaan renegosiasi tidak dengan sendirinya memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menghentikan pelaksanaan kontrak;
·      Apabila para pihak gagal untuk mencapai kesepakatan dalam jangka waktu yang wajar, masing-masing pihak dapat mengajukannya ke pengadilan;
·      Apabila pengadilan membuktikan adanya hardship maka pengadilan dapat memutuskan untuk mengakhiri kontrak pada tanggal dan jangka waktu yang pasti, atau dapat pula mengubah kontrak untuk mengembalikan keseimbangannya.
11.    Prinsip pembebasan tanggung jawab dalam keadaan memaksa (force majeur)
            Pembahasan tentang force majeur ini terdapat dalam Pasal 7.1.7 UPICC[24], pasal ini mengatur tentang keadaan memaksa dengan menyatakan antara lain, sebagai berikut:[25]
·      Force majeur yang dilakukan oleh salah satu pihak yang dimaafkan apabila pihak tersebut dapat membuktikan bahwa force majeur tersebut disebabkan oleh suatu rintangan di luar pengawasannya dan hal itu secara wajar tidak diharapkan akan terjadi;
·      Apabila rintangan hanya bersifat sementara, maka pemberian maaf akan berakibat hukum atas jangka waktu dengan memperhatikan akibat dari rintangan pelaksanaan kontrak tersebut;
·      Pihak yang gagal melaksanakan kontrak harus memberipemberitahuan kepada pihak lainnya tentang rintangan dan akibat terhadap kemampuannya untuk melaksanakan kontrak. Jika pemberitahuan itu tidak diterima oleh pihak lain dalam jangka waktu yang wajar, setelah pihak yang gagal melaksanakan mengentahui atau seharusnya telah mengetahui adanya rintangan itu, ia bertanggung jawab atas kerugian akibat dari tidak diterimanya pemberitahuan tersebut;
·      Pasal ini tidak mencegah salah satu pihak untuk menggunakan haknya mengakhiri kontrak, menahan pelaksanaan kontrak, atau meminta pembayaran bunga atas uang yang telah jatuh tempo.


[1] Ibid, h. 36
[2] H.R. Daeng Naja, Op. Cit , h. 8
[3] Micchael Joachim Bonnel, “The UNIDROIT Principles of International Commercial Contract:Why?What?How?,” 69 Tul. L. Rev. 1121 (1995)., Dikutip dari Huala Adolf, Op. Cit., Hal. 90
[4]  Subekti, Aneka Perjanjian, Cet. Keenam, Alumni, Bandung, 1995, Hal. 4-5
[5]  Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta. Institut Bangkir Indonesia, 1993. Hal. 47
[6] Taryana Soenandar. Op.cit., h.  42
[7] Ibid., h.  42
[8] Ibid., h. 45
[9] Hal ini diperkuat pula dengan ketentuan dalam Pasal 1.5 UPICC.
[10] Taryana Soenandar. Op.cit., h. 
 [11] Lihat juga ketentuan dalam Pasal 4.1 UPICC mengenai Intention of the parties.
[12]http://notarissby.blogspot.com/2009/03/prinsip-kontrak-komersial-international.html diakses tanggal 30 Oktober 2010 [13] Ketentuan UPICC Pasal 2.1.20 tentang Surprising terms (1) No term contained in standard terms which is of such a character that the other party could not reasonably have expected it, is effective unless it has been expressly accepted by that party. (2) In determining whether a term is of such a character regard shall be had to its content, language and presentation.”, Pasal 2.1.21 tentang Conflict between standard terms and non-standard terms “In case of conflict between a standard term and a term which is not a standard term the latter prevails”, Pasal 2.1.22 tentang Battle of forms “Where both parties use standard terms and reach agreement except on those terms, a contract is concluded on the basis of the agreed terms and of any standard terms which are common in substance unless one party clearly indicates in advance, or later and without undue delay informs the other party, that it does not intend to be bound by such a contract”.
[14] Taryana Sunandar, op.cit., h. 64.
[15] Ibid., h. 66
[16] Ibid., h. 66.
[17] Ibid., h. 69
[18] Ibid.,h.69                                                                                                                             
[19] Lihat ketentuan Pasal 4.6 UPICCWhere a contract is drawn up in two or more language versions which are equally authoritative there is, in case of discrepancy between the versions, a preference for the interpretation according to a version in which the contract was originally drawn up”.
[20] Lihat ketentuan mengenai hardship dalam UPICC, Pasal 6.2.1 tentang Contract to be observed “Where the performance of a contract becomes more onerous for one of the parties, that party is nevertheless bound to perform its obligations subject to the following provisions on hardship”. Pasal 6.2.2 tentang Definition of hardship There is hardship where the occurrence of events fundamentally alters the equilibrium of the contract either because the cost of a party’s performance has increased or because the value of the performance a party receives has diminished, and (a) the events occur or become known to the disadvantaged party after the conclusion of the contract; (b) the events could not reasonably have been taken into account by the disadvantaged party at the time of the conclusion of the contract; (c) the events are beyond the control of the disadvantaged party; and (d) the risk of the events was not assumed by the disadvantaged party”. Pasal 6.2.3 tentang Effects of hardship “(1) In case of hardship the disadvantaged party is entitled to request renegotiations. The request shall be made without undue delay and shall indicate the grounds on which it is based. (2) The request for renegotiation does not in itself entitle the disadvantaged party to withhold performance. (3) Upon failure to reach agreement within a reasonable time either party may resort to the court. (4) If the court finds hardship it may, if reasonable, (a) terminate the contract at a date and on terms to be fixed, or (b) adapt the contract with a view to restoring its equilibrium”.
[21] Taryana Soenandar, op. cit., h. 71
[22] Ibid., h. 72 
[23] Apa yang dimaksud dengan “fundamental” tentu saja akan sangat tergantung pada keadaan dari peristiwa tersebut. Jika yang dimaksud dengan pelaksanaan kontrak adalah suatu kemampuan yang dapat dihitung dengan syarat keuangan secara pasti. Maka perubahan yang bernilai 50 % (lima puluh persen) atau lebih dari biaya atau dari nilai pelaksanaan kontrak dianggap sebagai jumlah yang “fundamental”. Lihat Taryana Soenandar. Ibid., h. 73.
[24] Pasal 7.1.7 UPICC(1) Non-performance by a party is excused if that party proves that the non performance was due to an impediment beyond its control and that it could not reasonably be expected to have taken the impediment into account at the time of the conclusion of the contract or to have avoided or overcome it or its consequences. (2) When the impediment is only temporary, the excuse shall have effect for such period as is reasonable having regard to the effect of the impediment on the performance of the contract. (3) The party who fails to perform must give notice to the other party of the impediment and its effect on its ability to perform. If the notice is not received by the other party within a reasonable time after the party who fails to perform knew or ought to have known of the impediment, it is liable for damages resulting from such non receipt. (4) Nothing in this article prevents a party from exercising a right to terminate the contract or to withhold performance or request interest on money due”.
[25] Taryana Soenandar, op. cit., h. 80-81.

Tidak ada komentar: